Pengikut

Rabu, 24 September 2014

Wanita Dan Jihad Fisabillilah








Ada saatnya jihadnya wanita adalah berhaji dan umroh.
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha: Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah perempuan wajib berjihad?. Beliau menjawab: "Ya, jihad tanpa ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan umrah." Riwayat Ibnu Majah dan asalnya dalam kitab Bukhari.
Namun ada kalanya, terkadang mau tidak mau wanita juga terkena kewajiban untuk berpartisipasi dalam jihad fi sabilillah itu sendiri.
Rasulullah Saw mengikutsertakan kaum wanita dalam peperangan. Mereka mengobati orang yang terluka. Rasulullah tidak pernah memberi mereka bagian dari harta rampasan tetapi memberi mereka dari kelebihan (sisa) pembagian. (HR. Muslim)
Ibnu Qadamah Al-Hanbali berkata: Syarat orang yang terkena kewajiban jihad ada tujuh yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, tidak cacat yang fatal dan adanya biaya.[5] Kemudian beliau menambahkan syarat; adanya izin orang tua dan izin orang yang berhutang kepada yang menghutangi.[6] Kesembilan syarat ini berlaku dalam keadaan jihad fardhu kifayah, bila jihad naik menjadi fardhu `ain maka gugurlah empat syarat yaitu, merdeka, laki-laki, izin orang tua dan izin orang yang berhutang. Jadi syarat jihad fardhu `ain hanya ada lima saja; Islam, balihg, berakal, selamat dari cacat fatal serta adanya biaya. Inipun persyaratan adanya biaya akan gugur bila musuh menyerang ke dalam negeri.
Semua ketentuan ini telah ditetapkan oleh para fuqaha berbagai madzhab yang diakui, misalnya dari kalangan madzhab Hanafi Alauddin Al-Kasani yang berfatwa: Bila seruan perang dikumandangkan oleh sebab invansi musuh kedalam negeri artinya fardhu `ain, wajib bagi setiap kepala muslim yang memenuhi syarat untuk maju berdasarkan firman Allah, “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat.” (QS Taubah 41). Maka berperanglah budak tanpa izin tuannya, ISTRI TANPA IZIN SUAMINYA, dan juga anak tanpa izin orang tuanya.[7] Fatwa-fatwa yang mendukung hal ini banyak sekali.
Dari fatwa di atas, kita dapat mengetahui, bahwa ada kalanya ada saat di mana, jihad menjadi fardhu 'ain bagi setiap individu, termasuk bagi wanita (entah dia masih seorang lajang, atau sudah menjadi seorang istri). Wanita turut terjun di medan jihad, disebabkan juga oleh karena terkadang pihak tentara musuh memiliki anggota tentara-tentara wanita yang bertugas memerangi kaum muslimah. Maka mau tidak mau, wanita dari kaum muslimin juga harus turut ambil bagian menjadi benteng pertahanan bagi para muslimah dengan menangkis serangan tentara-tentara wanita kafir, murtadin, ataupun munafiqin yang menyerang kaum muslimah atau anak-anak, selain dari tugas mereka dalam mengobati orang yang terluka sebagaimana disabdakan Rasulullah tersebut di atas.
Ada kalanya, para thoghut menzalimi; menakut-nakuti kaum wanita muslimah di saat suami-suami mereka, orang tua-orang tua mereka atau kaum muslimin tidak ada untuk melindungi mereka. Ada kalanya juga kaum muslimin terpojok oleh serangan musuh, yang mengharuskan kaum muslimah untuk turun ke medan jihad melindungi saudara kandungnya atau kaum muslimin umumnya yang sedang terluka dan berperang sebisanya; membela agamanya dan demi melaksanakan sabda Rasulullah berikut.
Dari Sa’id bin Zaid radhiyallah ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya: “Barangsiapa yang mati karena membela (mempertahankan) hartanya maka dia syahid. Barangsiapa mati karena membela keluarganya maka dia syahid, barangsiapa mati karena membela agamanya maka dia syahid dan barangsiapa mati karena membela darahnya maka dia syahid.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam kondisi seperti ini, wanita muslimah mau tidak mau harus memiliki beberapa keterampilan dan kemampuan membela diri mereka sendiri dengan kemampuan yang mereka miliki untuk menghadapi masa-masa di mana partisipasinya dibutuhkan di medan jihad atau segala kondisi yang telah dipaparkan di atas. Untuk itu, wanita juga perlu melakukan i`dad (dengan keterampilan asykar yang manapun yang dia mampui) agar bila di kemudian hari menjumpai dan harus menghadapi situasi semisal ini, mereka dapat melindungi diri mereka sendiri dan melindungi kaum muslimah atau bahkan kaum muslimin lainnya.
“Kamu harus belajar memanah karena memanah itu termasuk sebaik-baik permainanmu.” (HR. Bazzar dan Thabrani)
Rasulullah saw. juga bersabda: “Lemparkanlah panahmu itu, saya bersama kamu.” (HR. Bukhari)
Sebagaimana sahabiyyah di zaman Nubuwwah, Nasibah binti Kaab yang dikenal dengan Ummu Imarah. Beliau juga ikut berperang. Dia bercerita, "Pada Perang Uhud, sambil membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku menemukan Rasulullah saw. Sementara, aku melihat pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku mendekati Rasulullah sambil ikut berperang membentengi beliau dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun terluka, tapi manakala Rasulullah saw. terpojok dan Ibnu Qamiah ingin membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush'ab bin Umair. Aku berusaha memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia dapat memukul pundakku sampai terluka. Rasulullah saw. bercerita, "Setiap kali aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud." Begitu tangguhnya Ummu Imarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar