Ada saatnya jihadnya wanita adalah berhaji
dan umroh.
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha: Aku
berkata: Wahai Rasulullah, apakah perempuan wajib berjihad?. Beliau menjawab:
"Ya, jihad tanpa ada peperangan di
dalamnya, yaitu haji dan umrah." Riwayat Ibnu Majah dan asalnya dalam
kitab Bukhari.
Namun ada kalanya, terkadang mau tidak mau
wanita juga terkena kewajiban untuk berpartisipasi dalam jihad fi sabilillah
itu sendiri.
Rasulullah Saw mengikutsertakan kaum
wanita dalam peperangan. Mereka mengobati orang yang terluka. Rasulullah tidak
pernah memberi mereka bagian dari harta rampasan tetapi memberi mereka dari
kelebihan (sisa) pembagian. (HR. Muslim)
Ibnu Qadamah Al-Hanbali berkata: Syarat
orang yang terkena kewajiban jihad ada tujuh yaitu Islam, baligh, berakal,
merdeka, laki-laki, tidak cacat yang fatal dan adanya biaya.[5]
Kemudian beliau menambahkan syarat; adanya izin orang tua dan izin orang yang
berhutang kepada yang menghutangi.[6]
Kesembilan syarat ini berlaku dalam keadaan jihad fardhu kifayah, bila jihad
naik menjadi fardhu `ain maka gugurlah empat syarat yaitu, merdeka, laki-laki,
izin orang tua dan izin orang yang berhutang. Jadi syarat jihad fardhu `ain
hanya ada lima saja; Islam, balihg, berakal, selamat dari cacat fatal serta
adanya biaya. Inipun persyaratan adanya biaya akan gugur bila musuh menyerang
ke dalam negeri.
Semua ketentuan ini telah ditetapkan oleh
para fuqaha berbagai madzhab yang diakui, misalnya dari kalangan madzhab Hanafi
Alauddin Al-Kasani yang berfatwa: Bila seruan perang dikumandangkan oleh sebab
invansi musuh kedalam negeri artinya fardhu `ain, wajib bagi setiap kepala muslim
yang memenuhi syarat untuk maju berdasarkan firman Allah, “Berangkatlah kamu
baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat.” (QS Taubah 41). Maka
berperanglah budak tanpa izin tuannya, ISTRI TANPA IZIN SUAMINYA, dan juga anak
tanpa izin orang tuanya.[7]
Fatwa-fatwa yang mendukung hal ini banyak sekali.
Dari fatwa di atas, kita dapat mengetahui,
bahwa ada kalanya ada saat di mana, jihad menjadi fardhu 'ain bagi setiap
individu, termasuk bagi wanita (entah dia masih seorang lajang, atau sudah menjadi
seorang istri). Wanita turut terjun di medan jihad, disebabkan juga oleh karena
terkadang pihak tentara musuh memiliki anggota tentara-tentara wanita yang
bertugas memerangi kaum muslimah. Maka mau tidak mau, wanita dari kaum muslimin
juga harus turut ambil bagian menjadi benteng pertahanan bagi para muslimah
dengan menangkis serangan tentara-tentara wanita kafir, murtadin, ataupun
munafiqin yang menyerang kaum muslimah atau anak-anak, selain dari tugas mereka
dalam mengobati orang yang terluka sebagaimana disabdakan Rasulullah tersebut
di atas.
Ada kalanya, para thoghut menzalimi;
menakut-nakuti kaum wanita muslimah di saat suami-suami mereka, orang tua-orang
tua mereka atau kaum muslimin tidak ada untuk melindungi mereka. Ada kalanya
juga kaum muslimin terpojok oleh serangan musuh, yang mengharuskan kaum
muslimah untuk turun ke medan jihad melindungi saudara kandungnya atau kaum
muslimin umumnya yang sedang terluka dan berperang sebisanya; membela agamanya
dan demi melaksanakan sabda Rasulullah berikut.
Dari Sa’id bin Zaid radhiyallah ‘anhu
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya: “Barangsiapa yang mati karena membela
(mempertahankan) hartanya maka dia syahid. Barangsiapa mati karena membela
keluarganya maka dia syahid, barangsiapa mati karena membela agamanya maka dia
syahid dan barangsiapa mati karena membela darahnya maka dia syahid.” (HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam kondisi seperti ini, wanita muslimah
mau tidak mau harus memiliki beberapa keterampilan dan kemampuan membela diri
mereka sendiri dengan kemampuan yang mereka miliki untuk menghadapi masa-masa
di mana partisipasinya dibutuhkan di medan jihad atau segala kondisi yang telah
dipaparkan di atas. Untuk itu, wanita juga perlu melakukan i`dad (dengan
keterampilan asykar yang manapun yang dia mampui) agar bila di kemudian hari
menjumpai dan harus menghadapi situasi semisal ini, mereka dapat melindungi
diri mereka sendiri dan melindungi kaum muslimah atau bahkan kaum muslimin
lainnya.
“Kamu
harus belajar memanah karena memanah itu termasuk sebaik-baik permainanmu.” (HR. Bazzar dan Thabrani)
Rasulullah saw. juga bersabda: “Lemparkanlah panahmu itu, saya bersama
kamu.” (HR. Bukhari)
Sebagaimana sahabiyyah di zaman Nubuwwah,
Nasibah binti Kaab yang dikenal dengan Ummu Imarah. Beliau juga ikut berperang.
Dia bercerita, "Pada Perang Uhud, sambil membawa air aku keluar agak siang
dan melihat para mujahidin, sampai aku menemukan Rasulullah saw. Sementara, aku
melihat pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku mendekati Rasulullah sambil ikut
berperang membentengi beliau dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun
terluka, tapi manakala Rasulullah saw. terpojok dan Ibnu Qamiah ingin
membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush'ab bin Umair. Aku berusaha
memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia dapat
memukul pundakku sampai terluka. Rasulullah saw. bercerita, "Setiap kali
aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang
Uhud." Begitu tangguhnya Ummu Imarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar